Oleh: Otoman
Abstract:
Classical Islamic historiography are born from the womb of Islamic schools of historiography
in the early rise
of Islam, as the flow of Yemen ,which is rooted in the saga, that
is the tradition of the South Arabs of pre-Islamic, and Medina which flow based
method that focuses on the history of Isnad. This flow-oriented science
of hadith, and the flow of Iraqis
who take the middle road between Medina and
Yemen flow, as
well as trying to leave the
influence of pre-Islamic. Iraq is the flow
that became the forerunner of Islamic
resurgence as a science of historiography. Along with further development, the three streams
are merged in the works of historians who are no longer identical to the one
preceding the flow, but more diverse, both the pattern and style of language,
which is accompanied by the methodology of historical research and criticism
are increasingly complex.
Key words: Classical Islamic
Historiography, style, development
Pendahuluan
Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki
metode sendiri, aspek penggunaan yang sangat banyak, dan memiliki sasaran yang
mulia. Sejarah membuat kita paham akan hal ihwal bangsa-bangsa terdahulu, yang
terrefleksi diri dalam perilaku kebangsaan mereka. Sejarah membuat kita
mengetahui banyak hal, seperti biografi para nabi, negara, dan kebijaksanaan
para raja. Penulisan sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang beragam,
dan pengetahuan yang bermacam-macam. Ia juga membutuhkan perhitungan yang
tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan
menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesalahan. Sebab, sejarah
mendapat tempat yang amat penting dalam keilmuan Islam.[1]
Historiografi Islam lahir dan
berkembang dari masa ke masa yang tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor
yang mempengaruhinya, baik faktor budaya maupun yang lahir dari peradaban Islam
itu sendiri. Hal ini, paling tidak mendorong lahirnya ragam aliran
historiografi di masa awal kebangkitan Islam, yang kemudian mengalami peleburan
dan melahirkan beragam corak dari historiografi Islam itu sendiri pada masanya. Berangkat dari hal di atas, perlu diadakan
pembahasan sederhana dalam tulisan ini, guna menghantarkan pada pemahaman
terhadap beberapa hal; pertama, mengenai aliran-aliran historiografi di
masa awal kebangkitan Islam dan tokoh-tokohnya, kedua corak historiografi
Islam klasik dan perkembangannya.
Historiografi Pada Masa Awal Kebangkitan Islam
Menurut Husein Nassar,[2] jika diamati secara
mendalam tentang perkembangan historiografi di awal kebangkitan Islam, maka
akan terlihat adanya tiga aliran dengan jelas, yaitu aliran Yaman, aliran
Madinah, dan aliran Irak. Akan tetapi, ada juga yang tidak memasukkan aliran
Yaman sebagai aliran dalam historiografi Islam di masa awal Islam. Hal di ini
didasari adanya anggapan bahwa karya-karya “sejarah” Yaman di awal masa
kebangkitan Islam ini bercampur antara informasi historis dengan dongeng atau
legenda, dan anggapan bahwa historiografi Yaman merupakan kelanjutan dari
historiografi Arab pra-Islam, sebagaimana al-ayyam dan al-ansab.[3] Karena inilah kemungkinan
besar pengamat historiografi Islam tidak memasukan aliran Yaman sebagai aliran
historiografi Islam di masa awal Islam. Kalau diperhatikan juga, Husein Nassar
tidak menyebutkan alasannya menempatkan “historiografi” Yaman ini sebagai salah
satu aliran historiografi yang berkembang di masa awal kebangkitan Islam. Namun,
Badri Yatim melihat ada pernyataan Husein Nassar yang menunjukkan, bahwa antara
“historiografi” Yaman dan “historiografi” pra-Islam Arab Utara (al-ayyam dan
al-ansab) terdapat perbedaan. Kalau al-ayyam dan al-ansab tidak
tertulis dan ditransmisikan secara lisan, maka di Yaman meskipun bercampur
dongeng, namun sejarahnya tertulis, dan jauh lebih kompleks dari sekedar al-ayyam
dan al-ansab.[4] Kemungkinan ini adalah
dorongan bagi Husein Nassar untuk memasukkannya sebagai aliran historiografi di
masa awal kebangkitan Islam itu.
Di samping perbedaan di atas, terdapat
juga perbedaan pendapat dalam menempatkan tokoh dalam aliran, terutama pada
aliran Madinah dan Irak. Akan tetapi mereka sepakat bahwa ketiga aliran itu
dalam perkembangannya akan melebur menjadi satu, meskipun dengan corak dan tema
yang semakin beragam. Perbedaan itu menurut Badri Yatim disebabkan karena
mereka berbeda pendapat kapan dan pada tokoh mana peleburan itu terjadi. Seperti
pendapat Muhammad Ahmad Tarhini dalam kutipan Badri Yatim, di antara sejarawan
yang termasuk aliran Madinah adalah: Abdullah ibn Abbas (w.78 H), Said ibn Musayyab al-Makhzuni (13-94 H), Aban
ibn Utsman ibn Affan (w. antara tahun 95-105 H), Syurahbil ibn Sa’ad (w. 123
H), Urwah ibn Zubair ibn al-Awwam (23-94 H), Ashim ibn Umar ibn Qatadah
al-zhafari (w.120 H), Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri
(w.124), Musa ibn Uqbah (w. 141 H), Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar (w. 150 H),
al-Waqidi (130-270 H), Muhammad ibn Sa’ad (168- 230 H).[5]
Sementara itu Abdul Aziz Salim
menempatkan Muhammad ibn Sa’ad sebagai sejarawan aliran Irak. Pendapat ini
menurut Badri Yatim kemungkinan besar didasarkan pada kenyataan bahwa Muhammad ibn
Sa’ad lahir di Irak. Sedangkan Muhammad Ahmad Tarhini menempatkannya dalam
golongan sejarawan aliran Madinah, karena ia adalah seorang ahli hadits dan
menganut metode hadits dalam penulisan sejarahnya, sebagaimana ciri yang dianut
oleh aliran Madinah pada umumnya.[6] Berangkat dari perbedaan
tersebut, yang lebih mendekati substansinya
adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ahmad Tarhini. Lain halnya dengan
Husein Nassar, ia berpendapat bahwa
semua aliran ini bertemu dan melahirkan Muhammad ibn Ishaq (w. 150 H), dengan
alasan bahwa semua ciri dan tema yang sebelumnya membedakan satu aliran dengan
aliran lain, terliput dalam karya sejarahnya. Padahal, sebagaimana pendapat
Muhammad Ahmad Tarhini dan Abdul Aziz Salim di atas, Muhammad ibn Ishaq adalah
seorang sejarawan berasal dari aliran Madinah. Meskipun Tarhini mengakui bahwa
Muhammad Ishaq sudah melampaui batas-batas metodologi aliran Madinah. Begitu
juga dengan Abdul Aziz, ia mengakui bahwa Muhammad ibn Ishaq banyak mengambil
tulisan-tulisan sejarawan aliran Yaman sebagai sumber.[7] Dengan demikian ada kecenderungan
Tarhini dan Abdul Aziz Salim membedakan ibn Ishaq dibanding dengan sejarawan
Madinah lainnya. Dengan kata lain ada titik temu dari perbedaan tersebut untuk
dikatakan kalau ibn Ishaq memang pionir bagi pertemuan tiga aliran sebagaimana
dikehendaki oleh Husein Nassar. Berikut ini akan dijelaskan ketiga aliran
historiografi di awal kebangkitan Islam tersebut satu persatu.
[1] Aliran Yaman. Yaman merupakan sebuah negeri yang terletak di
bagian selatan Jazirah Arab, karena itu sering juga disebut sebagai Arab
Selatan. Berbeda dengan Arab bagian Utara, negeri Yaman pernah mengalami
kemajuan peradaban. Kalau penduduk Arab utara di awal kebangkitan Islam belum
memperhatikan pentingnya tulis menulis, maka penduduk Yaman sejak lama sudah
menulis peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Mereka juga telah mengenal
kalender sejak tahun 115 SM. Tulisan-tulisan yang ditemukan di tempat-tempat
peribadatan mereka sebelum Islam, yang terpenting adalah berita tentang
runtuhnya bendungan Ma’arib, kerajaan Saba’ dan Ratu Bilqisnya, yang ada
kaitannya dengan Nabi Sulaiman, tentang kerajaan Himyar, tentang penaklukan
Habasyah (Ethiopia) atas Yaman, tentang serbuan Yaman (atas nama Habasyah) ke
Mekah dengan tentara gajah pada tahun 571 M, dan tentang keberhasilan
peperangan yang dipimpin oleh Sayf ibn Yaz al-Himyari dalam rangka mengusir
orang-orang Habasyah dari negeri Yaman atas bantuan Persia.[8]
Berita-berita di atas, terutama yang
berkembang pada masa Islam, di dalamnya bercampur antara yang faktual
(historis) dan yang bersifat dongeng atau legenda. Munculnya hal semacam itu
menurut Muhammad Ahmad Tarhini (dalam Badri Yatim), adalah akibat dari tingginya
fanatisme kedaerahan orang-orang Yaman pada abad pertama hijriyah. Dengan
legenda-legenda itu, mereka ingin memperlihatkan bahwa Arab Selatan lebih
unggul dari pada Arab Utara, karena Nabi Muhammad saw. muncul di Hijaz, yang
mana orang-orang Arab Utara dengan demikian merasa unggul dari Arab Selatan.[9] Jadi, yang mendasari
lahirnya aliran historiografi Yaman pada mulanya adalah fanatisme kedaerahan,
percampuran antara fakta historis dengan legenda atau dongeng sebagai buahnya. Riwayat-riwayat
tentang Yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat atau cerita,
sebagaimana al-ayyam dikalangan Arab Utara. Isinya adalah cerita-cerita
khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Hal ini adalah kelanjutan dari corak
sejarah sebelum Islam. Penulisnya dijuluki tukang hikayat (narator),
kitab-kitabnya disebut novel sejarah.[10] Di antara penulis-penulis hikayat aliran Yaman ini yang
banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya adalah: (1) Ka’ab al-Ahbar wafat
pada tahun 32 H. pada masa khalifah Utsman ibn ‘Affan, ia meriwayatkan
berita-berita dari kitab-kitab Israiliyyat (agama Yahudi). Ia dinilai
oleh sejarawan Islam klasik sebagai sejarawan yang banyak memasukan mitologi
dalam karyanya. (2) Wahhab ibn Munabbih wafat pada tahun 114 H, beliau
adalah seorang narator yang terkenal tentang asal-usul Yaman dan jabatannya
setingkat dengan qadhi. Dia banyak mempengaruhi penulisan sejarah Arab dalam
banyak hal. Pertama, dia adalah seorang yang memperkenalkan kandungan
kitab-kitab suci Yahudi dan asal mula Talmud dalam sejarah Islam. Kedua,
dia mendalami cerita rakyat Yaman yang legendaris lalu ditranmisikannya untuk
ahli tafsir dalam penafsiran al-Qur’an dan penulis-penulis maghazi.
Dengan kata lain, ia adalah perintis penyusunan al-maghazi, yang
berkembang di Madinah pada abad pertama hijrah.
Di antara jasa-jasanya juga adalah:
(a) meriwayatkan sejarah bangsa Arab sebelum Islam, (b) meriwayatkan
bangsa-bangsa non-Arab, terutama yang bersumber dari kitab suci Yahudi dan
nasrani, (c) menciptakan kerangka sejarah para nabi, mulai dari nabi Adam sampai
kepada Nabi Muhammad saw., dan (d) memasukan unsur kisah ke dalam lapangan
sejarah. Di antara karya-karyanya adalah; ahadits al-Anbiya’ wa al-Ibad wa
Ahadits Bani Israil (Berita tentang nabi-nabi, orang-orang saleh, dan Bani
Israil), Qishah al-Anbiya’ (Kisah Para Nabi), Mubtada’ al-Khalqi (Awal
Penciptaan), al-Mubtada’ (Permulaan), dan Kitab al-Muluk
al-Mutawajjah min Himyar wa Akhbaruhum wa Ghayr Dzalik ( Kitab tentang
raja-raja bermahkota dari Himyar, sejarah mereka dan lain-lain). (3) ‘Abid
ibn Syariyyah al-Jurhumi, dia hidup di dua masa; pra Islam dan masa Islam,
pada masa awal dinasti Bani Umayyah; zaman Mu’awiyah dipercaya untuk
menyelidiki dan memeriksa tentang ilmu bahasa, ilmu alam, dan geografi. Pada
masa ini dia dihormati sebagai pakar sejarah dunia. Muawiyah merasa puas dengan
ide-idenya, dan menyuruh wakilnya untuk menulis secara detil tentang Abid. Abid
hidup sampai masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Di antara karyanya adalah, Kitab
al-Amtsal (Cerita Alegoris), dan Kitab al-Muluk wa Akhbar al-Madhi (
Raja-raja dan Sejarah masa silam).[11]
Dari uraian di atas, dapat dilihat
betapa banyaknya jasa para sejarawan aliran Yaman ini bagi perkembangan
historiografi Islam selanjutnya, walaupun banyak para pengkritik yang meragukan
mereka untuk dijadikan sebagai sumber dalam historiografi Islam, sebab
disinyalir banyak mengandung unsur mitologi yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya.
[2] Aliran Madinah. Sebelumnya telah disebutkan, bahwa perkembangan
sejarah di kalangan umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan
lainnya. Perkembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam itu sendiri bermula di Madinah,
sebab kota ini merupakan ibukota negara Islam pertama, dan dipandang sebagai
“gudang” ilmu pengetahuan keagamaan Islam. Adapun ilmu pengetahuan keagamaan
yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadits, karena melalui hadits inilah
kaum muslimin pertama-tama mengetahui
hukum-hukum Islam, penafsiran al-Qur’an, sunnah Rasulullah dan para
sahabat, keteladanan Rasulullah, dan lain sebagainya. Adapun perkembangan ilmu
hadits ini berlangsung melalui periwayatan.[12]
Melalui perkembangan ilmu hadits itu,
dikatakan sebagai cikal bakal dari penulisan sejarah. Dari penulisan
hadits-hadits Nabi inilah, para sejarawan segera memperluas cakupannya hingga
membentuk satu tema sejarah tersendiri, yaitu al-maghazi (Perang-perang
yang dipimpin oleh Rasulullah), dan al-Sirah al-Nabawiyah (Riwayat Hidup
Nabi Muhammad saw.)[13] Dapat dikatakan bahwa
ilmu hadits adalah emberio bagi lahirnya historiografi Islam, sebab penulisan
sejarah Islam yang pertama tentang al-Maghazi maupun Sirah
al-Nabawiyah menggunakan prinsip yang ada dalam periwayatan hadits, yaitu isnad.
Aliran Sejarah yang muncul di Madinah
ini kemudian disebut dengan aliran sejarah ilmiah dan mendalam.
Adapun para sejarawan dalam aliran ini
adalah: Abdullah ibn Abbas (w.78 H), Said ibn Musayyab al-Makhzuni (13-94 H),
Abban ibn Utsman ibn Affan (w. antara tahun 95-105 H), Syurahbil ibn Sa’ad (w.
123 H), Urwah ibn Zubair ibn al-Awwam (23-94 H), Ashim ibn Umar ibn Qatadah
al-zhafari (w.120 H), Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri
(w.124), Musa ibn Uqbah (w. 141 H), Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar (w. 150 H),
al-Waqidi (130-270 H), Muhammad ibn Sa’ad (168- 230 H).[14]
Di antara sejarawan aliran Madinah
yang telah disebutkan di atas, telah dikemukan sebelumnya bahwa ibn Ishaq tidak
termasuk dalam aliran ini menurut Husein Nashshar[15], dan didukung oleh
pernyataan Tarhini dan Abdul Aziz Salim sendiri, meskipun tidak secara tegas
menyatakan bahwa ibn Ishaq bukanlah sejarawan aliran Madinah. Sedangkan
Muhammad ibn Sa’ad menurut hemat penulis dapat dikatagorikan beraliran Madinah,
meskipun ia sendiri lahir di Irak, sebab ia lama tinggal di Madinah dan salah
seorang ahli hadits, yang tentunya memberi pengaruh bagi karya sejarahnya.
[3] Aliran Irak. Aliran
Irak adalah aliran yang terakhir kali lahir, yang meliputi Kufah dan Bashrah.
Aliran ini lebih luas dibandingkan dengan dua aliran terdahulu, karena
memperhatikan arus sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus, dan sangat
memperhatikan sejarah para khalifah. Dalam karya-karya sejarawan aliran ini,
pada umumnya sejarah Irak diuraikan lebih terperinci dan panjang, sedangkan
mengenai kota-kota lain hanya sepintas saja.[16] Jadi, ciri khusus yang
membedakan aliran Irak dengan kedua aliran sebelumnya adalah cerminan arus
sejarah pra-Islam dan masa Islam, sangat memperhatikan sejarah para khalifah,
dan penguraian sejarah Irak secara terperinci dan panjang.
Berdirinya kota Kufah dan Basrah
merupakan keberhasilan dari ekspansi umat Islam di masa khalifah Umar ibn
al-Khaththab. Bangsa Arab yang pindah ke Kufah dan Bashrah membawa adat
istiadat Arab. Sebagaimana di Jazirah Arab, mereka di dua kota ini kembali
hidup mengelompok berdasarkan kabilah dan klan. Di sini mereka menghidupkan
kembali tradisi-tradisi yang ada pada zaman pra Islam, seperti mendirikan
pasar-pasar pagelaran puisi, di mana mereka dapat bersuka ria, berdiskusi, dan
membangga-banggakan kabilah atau klan mereka.[17] Dengan demikian,
kelahiran aliran Irak ini erat kaitannya dengan perkembangan budaya dan
peradaban Arab. Perkembangan kebudayaan bangsa Arab itu sendiri tidak dapat
dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial, dan budaya Islam yang tumbuh di
Kufah dan Bashrah saat itu. Adapun cerita, hikayat, atau tradisi kabilah,
sebagaimana al-Ayyam di masa pra Islam, diceritakan pada pertemuan suku,
di majelis amir, bahkan juga di masjid-masjid kota. Tema-tema pokok hikayat ini adalah pemujaan
terhadap perjalanan kemajuan suatu suku. Hikayat ini dihargai sebagai warisan
umum. Akan tetapi karena pengaruh keislaman mereka, warisan lisan di dua kota
ini diperkaya dengan peristiwa-peristiwa dan nilai baru, seperti al-Futuhat
(ekspansi), fanatisme politik kekabilahan yang diakibatkan oleh persaingan
antar kabilah dalam mencapai kekuasaan, dan fanatisme kebangsaan yang muncul di
daerah-daerah taklukan, terutama bangsa Persia yang bermukim di Irak.[18] Inilah yang membedakan citra penulisan
sejarah aliran Irak, dibanding masa pra-Islam, pada masa ini banyak unsur yang
mewarnainya sebagaimana tersebut.
Langkah pertama yang sangat menentukan
perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah
pembukuan tradisi lisan. Hal ini dilakukan pertama kali oleh Ubaidullah ibn Abi
Rabi’, sekretaris Khalifah Ali ibn Abi Thalib ketika menjalankan
kekhalifahannya di Kufah. Ia juga menulis buku berjudul Qadhaya Amir
al-Mu’minin Alayh al-Salam (perkara-perkara Pengadilan Amirul Mukminin [Ali
ibn Abi Thalib]), dan kitab Tasmiyah Man Syahad Ma’a Amir al-Mu’minin fi
Hurub al-Jamal wa al-Shiffin wa Nahrawan min al-Shabah Radhia Allah ‘Anhum (Nama-nama
para sahabat ra. yang bersama Amir al-Mukminin [Ali ibn Abi Thalib] ikut dalam
perang-perang Jamal, Shiffin, dan Nahrawan). Dia dipandang sebagai sejarawan
pertama dalam aliran Irak ini. Kemudian diikuti oleh Ziyad ibn Abih yang
menulis buku yang berjudul Matsalib al’Arab.[19]
Kemudian pada abad kedua hijrah, mulai
terlihat adanya perkembangan penulisan sejarah, karena banyaknya para ahli
dalam bidang nasab (silsilah) mengenai kabilah-kabilah, mereka mulai
menulis buku-buku yang memuat nasab, syair, dan kisah sebagian kabilah. Dan
pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, para penguasanya sangat menekankan masalah
arabisasi, hal ini mendorong kenyataan baru yang merupakan fenomena kebangkitan
sastra dan pemikiran, khususnya yang berhubungan dengan syair-syair Jahiliyah
dan adat istiadat Arab pra- Islam.[20] Dengan demikian
terealisasi keinginan para penguasa Bani Umayyah untuk menciptakan Kufah dan
Bashrah sebagai alternatif bagi Mekah dan Madinah di masa Jahiliyah.
Heteroginitas di Kufah dan Bashrah
mendorong bangsa Arab di sana untuk memelihara
nasab (silsilah) dan tradisi ayyam al-‘Arab, berkenalan
dengan sejarah bangsa-bangsa non-Arab, di samping itu ilmu-ilmu al-qur’an,
hadits, dan fikih. Sejalan dengan orientasi budaya penguasa Bani Umayyah,
orang-orang Arab berusaha melestarikan nilai-nilai lama mereka yang diwariskan
secara lisan, terutama al-Nasab dan Adab al-Ayyam.[21] Adapun usaha yang mereka
lakukan melestarikan nilai-nilai luhur mereka itu dengan cara menuangkan hal
itu dalam bentuk tulisan.
Selanjutnya mereka mempunyai perhatian
terhadap peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masa kekhalifahan, baik
pada masa khulafa’ al-Rasyidun maupun Bani Umayyah dan Bani Abbas. Untuk
kepentingan ini mereka mencari bahan-bahan yang terkumpul di Madinah, di Irak
dan Syria. Dari sumber-sumber seperti inilah para perawi dapat menemukan apa
yang mereka cari.[22] Dari sini dapat diketahui,
mereka sangat berjasa dalam rangka pengumpulan materi-materi sejarah, dan
mendorong munculnya penulisan berkenaan dengan tradisi-tradisi dinasti. Meskipun demikian, para sejarawan aliran
Irak ini, tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh ilmu hadits. Mereka
tidak mengabaikan peraturan isnad dalam tulisan mereka, sebab praktik
penulisan sejarah pada saat itu berada di bawah pengaruh para ahli hadits.
Meskipun demikian, aliran Irak ini menerapkan peraturan isnad dengan
cara liberal.
Kalau dilihat dari cakupan informasi
dan subyek kajian, aliran Irak lebih luas dari kedua aliran sebelumnya, maka
aliran ini dikatagorikan sebagai kebangkitan sebenarnya penulisan sejarah
sebagai ilmu.[23]
Sejarah pada masa ini mulai melepaskan diri dari pengaruh ilmu hadits, dan
bersamaan dengan itu pula sudah ada upaya meninggalkan pengaruh pra-Islam yang
banyak mengandung ketidak benaran. Aliran ini melahirkan sejarawan-sejarawan
besar di masa kemudian, dan diikuti oleh hampir seluruh sejarawan yang datang
di masa berikutnya.
Para sejarawan aliran Irak jumlahnya
banyak di samping Ubaidullah ibn Abi Rabi’ dan Zyad ibn Abih, yang terkenal
adalah: Abu ‘Amr ibn al-‘Ala (w.51 H), Hammad al-Rawiyah (w.156 H), Abu Mikhnaf
(w.157 H), ‘Awanah ibn al-Hakam (w.147 H), Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi
(w.180 H), Nashr ibn Muzahim (w.212 H), al-Haitsam ibn ‘Udi (w. 207 H),
al-Mad’ini (w.225 H), Abu ‘Ubaydah Ma’mar ibn Mutsni al-Taymi (w.211 H),
al-‘Ashma’i (w.217 H), Abu Yaqzhan al-Nassabah (w.190 H), Muhammad ibn al-Sa’ib
al-Kalibi (w.146 H), dan Hisyam ibn Muhammad al-Sa’ib al-Kalibi (w.204 H).[24]
Corak dan Perkembangan Historiografi Islam Klasik
1. Historiografi Islam Pasca Ibn Ishaq.
Perkembangan historiografi dalam Islam
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum. Adapun puncak dari
perkembangan budaya itu terjadi pada masa dinasti Abbasiyah, tepatnya pada abad
ke-9 dan ke-10 M. Seiring dengan itulah historiografi Islam yang sudah dimulai
sebelumnya berkembang bersamaan dengan perkembangan penulisan hadits semakin
pesat.[25] Aliran-aliran
historiografi di masa awal Islam melebur dalam karya-karya sejarah ibn Ishaq,
al-Waqidi, dan Muhammad ibn Sa’ad, para sejarawan bermunculan. Sebagaimana ahli
hadits, para sejarawan giat melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu dan
mengumpulkan informasi-informasi sejarah. Dalam rihlah ilmiah
itu, terjadi dialog intelektual antara satu aliran dengan aliran lain, dan di
samping banyak masukan-masukan wawasan yang mereka peroleh dari pengalaman
pengembaraan intelektual itu. Hal inilah yang semakin mendorong berkembangnya
penulisan sejarah. Meskipun aliran-aliran lama, aliran Yaman, aliran Madinah,
dan aliran Irak dapat dikatakan lebur, namun corak penulisan sejarah bukannya
menjadi satu, justru semakin beragam. Hanya saja para sejarawan tidak lagi
mudah untuk dikatagorikan sebagai penganut satu aliran tertentu, karena seorang
sejarawan dapat menulis karya-karya
sejarah dengan tema yang beragam dan dengan pendekatan yang berbeda.[26] Ketika itu, seorang
sejarawan dapat menulis sejarah umum, tetapi pada saat yang lain dia juga
menulis al-ansab dan al-sirah, dan bahkan corak-corak baru sesuai
dengan kreasi yang mereka ciptakan.
Dengan ringkas dapat dikatakan, pada
masa suburnya langgam bahasa yang digunakan semakin beragam, corak dan tema
sejarah semakin banyak, dan metodologi penelitian dan kritik sejarah semakin
kompleks. Di antara sejarawan besar pada masa ini sebagai berikut:[27]
[a] Ibn Qatadah al-Dinawari (w. 276
H/889 M). Pada masa Dinasti Bani
Abbas, Sejarawan muslim mulai menulis sejarah umum, yang terpengaruh oleh
contoh dari buku-buku sejarah Persia, seperti yang diterjemahkan oleh Ibn
Muqaffa’ (w. 140 H/757 M), yaitu kitab Siyar al-Muluk al-‘Ajam (Buku
tentang Biografi Raja-Raja Persia). Buku sejarah umum tertua adalah karya Ibn
Qatadah al-Dinawari, yaitu ‘Uyun al-Akhbar. Dia juga menulis buku
sejarah yang bukan jenis ini, seperti Thabaqat al-Syu’ara (Tingkatan
Para Penyair), Karya-karyanya secara keseluruhan sekitar 46 buku, di samping
yang telah disebutkan di atas, adalah Kitab al-Ma’arif (Buku tentang Pengetahuan), al-Imamah wa
al-Siyasah (Kepemimpinan dan Politik). Dia adalah Sejarawan yang kritis
terhadap sumber sejarah, yang mana dalam penulisan sejarah tidak hanya terbatas
pada riwayat-riwayat lisan, tetapi juga buku-buku.
[b] Al-Ya’qubi (w. 284 H/897 M). Al-Ya’qubi adalah penulis sejarah yang sezaman
dengan Ibn Qatadah al-Dinawari, nama lengkapnya adalah Ahmad Abi Ya’qub ibn
Wadhi, tetapi lebih dikenal Al-Ya’qubi. Dia adalah seorang sejarawan pengembara,
yang hidup di Baghdad pada masa pemerintahan Abbasiyah, al-Mu’tamid (870-892
M). Dia pernah melakukan pengembaraan panjang di Armenia, Transoksania (Asiah
Tengah), Iran, India, Mesir, Hijaz, dan Afrika Utara. Dalam perjalanan ini dia
berhasil mengumpulkan banyak informasi sejarah dan geografi.
Dia mengarang banyak buku-buku, di
antaranya; Kitab al-Buldan (Buku Negeri-Negeri), buku ini termasuk buku
tertua dalam jenis geografi sejarah. Tarikh al-Ya’qubi yang terdiri dari
dua jilid (jilid pertama tentang sejarah dunia kuno, dan jilid kedua tentang
sejarah Islam yang disusun berdasarkan urutan khalifah), karya ini mencerminkan
dominasi kronologi dalam penulisan, dan penyebutan sumber pengutipan. Di
samping itu, ada juga karya singkatnya yang berjudul Musyakalat al-Nas li
Zamanihim (Kesamaan Manusia pada Masa Mereka).
[c] Al-Baladzuri (w. 279 H/892 M). Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Ahmad bin Yahya
bin Jabir bin Daud al-Baladzuri. Dia
dilahirkan di Baghdad pada akhir abad ke-2 H. Sejak usia muda ia senang
mengembara untuk menuntut ilmu di beberapa negeri Islam. Di antara gurunya
adalah Muhammad ibn Sa’ad. Hasil dari pengembaraannya ini dapat tercermin lewat
karya sejarahnya Kitab Futuh al-Buldan (Buku Pembukaan Negeri-Negeri).
Ia pergi ke Damaskus, Homs, dan Antokia.
Dia dikenal sebagai sejarawan istana,
sebab banyak materi sejarah yang ditulisnya bersumber dari khalifah.
Hubungannya dengan khalifah-khalifah Abbasiyah (al-Mutawakkil dan al-Mu’taz)
sangat dekat, bahkan al-Mu’taz mengangkatnya sebagai pendidik bagi putranya
yang bernama Abdullah. Sebagai ilmuwan produktif, dia meninggalkan banyak
karya, di antaranya Kitab Buldan al-Shaghir (Buku Kecil Negeri-Negeri), Kitab
Buldan al-Kabir (Buku besar Negeri-Negeri) yang belum selesai, Kitab
al-Akhbar wa al-Ansab (Buku Sejarah dan Silsilah/Genealogi), Kitab Ansab
al-Asyraf (Buku silsilah para Syarif), dan Kitab Futuh al-Buldan
yang telah disebutkan di atas. Adapun karakteristik tulisannya yang tercermin
dalam karyanya Futuh al-Buldan, dia tidak hanya memperhatikan faktor
kronologi, tetapi juga faktor geografi negeri yang dimasuki Islam. Ia tidak
lagi menggunakan metode hawliyyat, melainkan pendekatan tematik
berdasarkan wilayah (negeri).
[d] Abu Hanifah al-Dinawari (w. 282
H/895 M). Nama lengkapnya adalah
Abu Hanifah Ahmad bin Daud bin Wathan al-Dinawari. Di antara karyanya dalam
bidang sejarah adalah Kitab al-Akhbar al-Thiwal (Buku Sejarah Panjang)
dan Kitab al-Buldan (Buku Negeri-Negeri). Dalam Buku Sejarah Panjang, ia
pertama-tama bercerita tentang kisah anak-anak Nabi Adam, para nabi sampai ke
Nabi Ismail, secara ringkas. Kemudian memasuki sejarah Persia. Lalu memasuki
sejarah Nabi Muhammad saw. Secara singkat. Setelah itu dia langsung membahas
tentang ekspansi Islam ke negeri Persia-
sejarah para khalifah Abbasiyah hingga wafatnya al-Mu’tashim pada tahun 227 H.
Adapun karakteristik tulisannya,
hampir tidak menyebutkan sumber kutipan sama sekali dari informasi-informasi
sejarah yang ia tulis. Dia hanya mengatakan di awal tulisannya “Saya
mendapatkan dari beberapa buku-buku ilmiah tentang sejarah masa lalu”, kemudian
ia memaparkan dengan metode naratif dengan bahasa yang jelas. Atau hanya
sesekali ia menyebutkan nama-nama sejarawan
yang dikutipnya, seperti Ubayd bin Syariah al-Jurhumi, pengarang Kitab
al-Muluk wa Akhbar al-Madhin (Buku Sejarah dan Sejarah Masa Silam), Ibn
Kayyis al-Namri, al-Kalbi, al-‘Asma’i, al-Sya’bi, dan al-Haitsam bin ‘Adi.
[e] Al-Thabari (w. 310 H/922 M). Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir
al-Thabari, adalah seorang sejarawan besar muslim yang juga ahli dalam
ilmu-ilmu; tafsir, qira’at, hadits, dan fiqh. Di antara karya sejarahnya Tarikh
al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para
Rasul dan Raja) dan Tarikh al-Rijal (Sejarah Para Tokoh). Metode
penulisan sejarah yang dilakukan al-Thabari bersandar pada riwayat, sangat
memperhatikan sanad, sistematika penulisan bersifat kronologi
berdasarkan tahun, informasi yang disajikan bersifat umum, memasukan teks-teks
sastra.
[f] Al-Mas’udi (w. 957 M). Nama lengkapnya Abu al-Hasan ibn Husayn ibn Ali,
dia digelari oleh Ibn Khalikan oleh seorang sejarawan terkenal pada masanya
sebagai imam al-mu’arrikhin (pemimpin para sejarawan). Adapun karyanya
yang terkenal dalam bidang sejarah adalah Muruj al-Zhahab wa Ma’adin
al-Jauhar dan al-Tanbih wa al-Isyraf, Berbeda dari buku-buku sejarah
yang lain, dalam bukunya yang pertama termuat juga sejarah Hindu (India),
Persia, Romawi, dan Yahudi. Sedangkan dalam kitabnya yang kedua berisi
pendapat-pendapat filsafat sejarah dan hubungan antara hewan, tumbuh-tumbuhan,
dan tambang. Di dalamnya juga terdapat sejarah klasik, sejarah Islam, dan
negeri-negeri lain. Di dalam kedua
kitabnya di atas menurut Badri Yatim tergambar pembaharuannya dalam penulisan
sejarah. Dia tidak lagi sekedar menyusun peristiwa-peristiwa berdasarkan
kronologi, tetapi juga mengumpulkanya di bawah beberapa topik/judul, seperti
bangsa-bangsa, raja-raja, dan keluarga-keluarga. Dalam penulisan sejarah, Al-Mas’udi
menggunakan pendekatan tematik. Tema-tema bertolak dari bangsa-bangsa,
raja-raja, dan dinasti-dinasti. Dalam pemaparan sejarah, dia menyajikan materi
dengan menarik, diramu bersama peristiwa-peristiwa politik, peperangan, dan
informasi tentang masyarakat dan adat istiadatnya, di samping pembahsan
geografis. Dalam hal ini dia banyak diikuti oleh sejarawan yang datang
kemudian, termasuk Ibn Khaldun.
Setelah para sejarawan di atas, dunia
Islam terus melahirkan sejarawan-sejarawan besar, seperti Al-Biruni (362-448
H/973-1048 M)), Ibn Atsir (555-630 H/1160—1234 M), Ibn Khalikan (608-682
H/1211-1282 M), Al-Qazwani (600-682 H/1203-1283 M), Ibn Batutah (703-779
M/1304-1377 M), Ibn Khaldun (732-808 H/1333-1406 M), Al-Maqrizi (766-845
H/1364-1442 M), Al-Shakhawi (1427-1497 M), Ibn Hajar al-Asqalani (773-825
H/1372-1499 M), Ibn Ilyas (1448-1524 M), dan Al-Jabarti (1167-1240 H/1754-1825
M).[28]
2. Perkembangan Corak Historiografi Islam Klasik
Kalau diperhatikan historiografi Islam
mulai dari masa awal pertumbuhannya hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan
besar, corak penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka menurut Badri
Yatim dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu corak khabar, corak
hawliyyat (kronologi berdasarkan tahun), dan corak maudhu’iyyat
(tematik).[29]
Ketiga corak historiografi ini akan dikemukakan berikut.
[1] Khabar.[30] Pada awalnya para sejarawan muslim menyandarkan
penulisan sejarah pada riwayat, yang sebagaimana dalam penulisan hadits
dengan menggunakan sanad. Beberapa ciri yang berkenaan dengan
riwayat-riwayat itu adalah: a) antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada
hubungan, masing-masing berdiri sendiri, b) riwayat itu ditulis dalam bentuk
cerita (kisah) yang biasanya dalam bentuk dialog, c) riwayat-riwayat itu
diselingi dengan syair yang seringkali digunakan sebagai penguat kandungan
khabar itu.[31]
Setengah abad setelah wafatnya
Rasulullah saw. Kaum muslimin belum melahirkan tradisi menulis. Pada masa itu
riwayat berpindah dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui tradisi lisan. Tradisi lisan yang mengambil bentuk
riwayat inilah yang pertama kali muncul. Para sejarawan mengumpulkan
riwayat-riwayat itu dan menulisnya dengan bersumber dari ingatan dan hapalan yang memang dari
orang Arab yang dikenal kuat ingatannya. Baru pada abad ke-2 Hijrah, para
sejarawan ada yang menulis karya sejarah yang bersumber kepada tulisan-tulisan
para sejarawan sebelumnya.
Pada awal kebangkitan sejarah ini,
para sejarawan muslim secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari dari
pengaruh penulisan hadits yang sangat kuat menggunakan sanad. Pada waktu
sejarawan tidak lebih dari sekedar perawi dan menuliskannya dalam tulisan.
Riwayat yang berdiri sendiri inilah dalam ilmu sejarah dinamakan dengan khabar.[32]
Al-Thabari dan para sejarawan
sebelumnya sangat memperhatikan persoalan sanad ini. Baru setelah masa
al-Thabari muncul para sejarawan yang meninggalkan penyebutan sanad
dalam menulis sejarah. Mereka merasa cukup dengan hanya menyebut matan (teks) khabar-khabar
itu di dalam tulisan-tulisan sejarah mereka. Diantaranya adalah al-Ya’qubi
(w.284 H) dan al-Mas’udi (w. 346 H). Mereka menganggap cukup disebutkan
sumber-sumber pengambilan data di pendahuluan karya-karya mereka, diikuti
dengan kajian kritis terhadap sumber-sumber itu.[33]
[2] Hawliyyat.[34] Sebelum
masa perkembangan historiografi Islam, para sejarawan menulis
peristiwa-peristiwa sejarah itu secara acak dan tidak berurutan (kronologis),
namun dalam masa selanjutnya para sejarawan kemudian menggunakan dua metode
penulisan, yaitu (1) metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-tarikh
al-hawli atau al-tarikh ‘ala sinin, atau yang lebih singkat hawliyyat, dan
(2) metode penulisan sejarah berdasarkan tema/ Maudhu’iyyat
(tematik).Yang dimaksud dengan hawliyyat adalah metode penulisan sejarah
yang menggunakan pendekatan tahun demi tahun. Dalam metode ini, bermacam-macam
peristiwa sejarah dihimpun di bawah “tema” tahun. Dalam metode ini
peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi pada tahun tertentu dihubungkan dengan
kata-kata wa fiha (dan pada tahun
itu juga). Apabila peristiwa-peristiwa pada tahun itu telah habis
dipaparkan sejarawan beralih ke tahun
berikutnya dengan menggunakan kata-kata tsuma dakhalat sanah…(kemudian
masuk tahun…) atau tsumma ja’a fi sanah… (kemudian terjadi peristiwa…
pada tahun…). Dalam hal ini al-Thabari dipandang sebagai sejarawan muslim
pertama yang menghasilkan metode hawliyyat; ia menulis dalam karyanya
yang berjudul tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Para
Raja), atau ikenal dengan judul lainnya yaitu Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Sejarah
Umat dan Raja-raja). Akan tetapi Rosenthal meragukan hal itu, menurutnya
sebelum al-Thabari sudah ada sejarawan muslim yang telah menggunakan metode
ini, yaitu Abu Isa ibn Munajjim (w.279 H) dengan karyanya yang berjudul Tarikh
Sinni al’Alam (Sejarah Dunia berdasarkan Tahun).[35] Yang jelas, setelah masa al-Thabari, metode hawliyyat ini banyak digunakan oleh sejarawan muslim,
yang terkenal di antaranya adalah Miskawih, ibn al-Jawzi, ibn al-Atsir, Abu
al-Fida’, dan al-Zhahabi.
[3] Maudhu’iyyat (Tematik). Metode
maudhu’iyyat ini muncul dari
hasil kritik terhadap metode hawliyyat. Seorang sejarawan besar yang
mengkritik metode ini adalah ibn Atsir al-Juzuri, yang bergelar ‘Izz al-Din
(w.630 H). Ia melihat kelemahan pada metode hawliyyat yang memutus
kontinuitas sejarah yang panjang yang saling berhubungan yang berkelanjutan
dalam beberapa tahun. Para sejarawan yang memakai metode ini tidak menyebutkan
peristiwa-peristiwa sejarah kecuali yang terjadi pada tahun bersangkutan dan
berkelanjutan pada tahun-tahun berikutanya, maka dengan demikian
peristiwa-peristiwa itu terpisah-pisah, informasi yang terpisah-pisah itu
kemudian digabungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada tahun
itu.[36] Dengan demikian, ibn
Atsir berusaha menghindarkan diri dari kelemahan metode hawliyyat. Untuk
itu ia menghimpun unsur-unsur peristiwa yang berkelanjutan dalam beberapa
tahun, dan menghubungkan bagian-bagianya dalam satu tahun tertentu dalam satu
tema, sehingga peristiwa itu menjadi jelas dan dapat dipahami. Unsur-unsurnya
disusun secara kronologis dengan baik. Meskipun tidak semua peristiwa dapat
dilakukan seperti itu. Kemudian ibn Atsir sangat memperhatikan kemudahan bagi
para pembaca, yaitu dengan memberikan judul bagi tiap peristiwa-peristiwa yang
menggambarkan isinya. Kadang-kadang peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi pada
tahun yang sama dihimpun di bawah judul Dzikr ‘iddah al-Hawadits
(tentang beberapa peristiwa lainnya) dan di akhirnya tentang riwayat hidup tokoh-tokoh yang meninggal dunia pada tahun
tersebut.[37]
Penulis lainnya yang mengkritik metode
hawliyyat adalah Syihab al-Din Ahmad ibn Abd al-Wahhab al-Nuwayri (w.723
H), ia menulis sejarah berdasarkan tema, sebagaimana karyanya tentang dinasti.
Akan tetapi dalam menulis satu dinasti dia tetap menggunakan metode hawliyyat
dalam memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dinasti itu. Setelah itu
barulah ia beralih ke dinasti lain. Dia membagi sejarah Islam menjadi beberapa
dinasti, dimulai dengan al-Sirah al-Nabawiyah (Riwayat Hidup Nabi saw.),
Sejarah Khulafa’ al-Rasyidun, Sejarah Bani Umayyah, Sejarah Bani Abbas,
dan Alawiyah, serta dinasti-dinasti kecil yang berdiri pada masa al-Khilafah
al-‘Abbasiyyah.[38]
Walaupun ibn Atsir dan al-Nuwayri
melontarkan kritikan terhadap corak penulisan
hawliyyat dan mengajukan
cara tematik sebagai alternatif, mereka berdua ini bukan sejarawan muslim
pertama dalam Islam yang menggunakan corak penulisan sejarah secara tematik.
Sebab jauh sebelum mereka berdua, telah ada sejarawan yang menggunakan metode
ini, yaitu al-Ya’qubi (wafat di Mesir pada tahun 897 M) dan al-Mas’udi (w.957
M), mereka ini telah menggunakan corak tematik itu dalam karya-karya
sejarahnya.[39]
Lain halnya dengan apa yang telah diungkapkan Badri Yatim di atas. Mu’in Umar
mempunyai pendapat lain tentang jumlah bentuk atau corak dasar historiografi
Islam. Menurutnya ada lima bentuk atau corak[40], yaitu khabar, hawliyyat
(analistik), Dinasti[41], Thabaqat[42],
dan Nasab[43]. Di dalam buku
pengantarnya, Mu’in Umar mengatakan bahwa ketiga bentuk historiografi
(Dinasti,Thabaqat, dan Nasab) adalah bentuk kecil mengenai periodisasi Sejarah.[44]
Berangkat dari karya-karya sejarah
yang telah dihasilkan oleh para sejarawan muslim dari awal masa kebangkitan
Islam hingga masa perkembangannya telah melahirkan keragaman historiografi
dalam Islam, yang menurut Mu’in Umar dapat dikelompokkan ke dalam tiga karya
sejarah yaitu; sejarah umum (seperti karya Al-Ya’qubi Tarikh Al-Ya’qubi),
sejarah lokal atau regional (seperti karya Al-Mafarruhi Mahasin Ishbahan),
sejarah kontemporer dan memoar (seperti karya mengenang kemenangan-kemenangan
masa klasik yang mana penulis mempersonifikasikan diri dengan keluarga Barmak,[45] atau semua hasil karya
sejarah, penulis mempergunakan sejarah masa lalu sebagai latar belakang masa
sekarang. Sedangkan memoar seperti karya Usamah ibn Munqiedz Al-‘Itibar.[46]
3. Perkembangan Langgam Bahasa dalam Historiografi
Islam
Kalau dilihat dari segi teknik
penulisan, penulisan sejarah terus mengalami perkembangan, demikian pula dalam
bidang langgam bahasa yang digunakan. Pada awalnya karya-karya sejarah,
sebagian besarnya, menghimpun khabar-khabar itu dalam bentuk
kalimat-kalimat pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu sama lainnya.
Dalam perkembangannya, langgam bahasa sejarah menjadi bebas, sederhana, jelas,
hampir-hampir tidak ada lagi syair di dalamnya.[47]Banyak juga yang
menggunakan sajak (kalimat-kalimat yang digunakan di dalamnya bersajak) dalam
tulisan sejarah, meskipun sejarah sama sekali bukan cabang dari sastra yang
biasanya menggunakan sajak. Di antara para sejarawan yang terkenal banyak
menggunakan sajak dalam karya-karya sejarahnya adalah al-Imad al-Ashbihani, dan
al-Fath ibn Khaqan berasal dari Andalusia.[48] Ada juga yang
menggabungkan antara prosa dan kalimat-kalimat bersajak, seperti Abu Marwan
Hayyan ibn Khalaf yang dikenal dengan ibn Hayyan (w.460 H), seorang sejarawan
muslim asal Andalus. Sementara yang lainnya dalam karya sejarahnya menggunakan
bahasa yang mudah dipahami, sederhana, dan berusaha menghindari bahasa yang
dibuat-buat agar enak didengar dan lafal-lafal yang berbelit-belit. Diantara
mereka ini adalah ibn Atsir dan Thaba’thaba’i. Bagi mereka yang terpenting
adalah jelasnya materi sejarah dengan kalimat-kalimat pendek yang pengertiannya
jelas dan cepat dipahami oleh pembaca. Sedangkan pada masa-masa akhir, tulisan-tulisan sejarah banyak di rasupi oleh
kata-kata asing atau logat-logat daerah tertentu. Pada abad ke-9 dan ke-10 H,
logat-logat daerah semakin banyak ditemui.[49]
Di antara sejarawan yang banyak
memasukan bahasa-bahas asing dan logat-logat daerah itu adalah ibn Ilyas (w.930
H), ia berasal dari Mesir, hal ini terdapat dalam karyanya yang berjudul Bada’i
al-Zuhur fi Bada’i al-Duhur, dan Abu Mahasin ibn Taghri Bardi juga asal
Mesir dalam karyanya yang berjudul al-Nujum al-Zhahirah fi Muluk Mishr wa
al-Qahirah, ibn al-Furat dalam karyanya Tarikh al-Duwal wa al-Muluk.[50]
Dapat ditarik benang merah, bahwa
historiografi Islam klasik pada masa perkembangannya terdapat corak langgam
bahasa, di antaranya; langgam bahasa bebas, sederhana, jelas, dan hampir tidak
ada lagi syair di dalamnya, menggunakan sajak, menggabungkan antara prosa dan
kalimat-kalimat bersajak, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sederhana,
dan berusaha menghindari bahasa yang dibuat-buat agar enak didengar dan
lafal-lafal yang berbelit-belit, dan ada
juga yang memasukan bahasa-bahasa asing dan logat-logat daerah dalam penulisa
sejarah tersebut.
Penutup
Historiografi Islam klasik merupakan mata rantai
dari aliran-aliran historiografi Islam di awal masa kebangkitan, yaitu aliran
Yaman, aliran Madinah, dan aliran Irak. Aliran Irak pada fase selanjutnya menjadi
cikal bakal kebangkitan historiografi sebagai sebuah bangunan Ilmu. Pada masa perkembangannya,
ketiga aliran itu melebur dalam karya-karya sejarawan yang tidak lagi identik
dengan salah satu aliran tersebut, melainkan semakin beragam coraknya maupun
langgam bahasa yang dipergunakan, dan sudah lazimnya juga diiringi oleh perkembangan
metodologi penelitian dan kritik sejarah yang semakin kompleks pula.
Historiografi Islam klasik memiliki tiga
corak berdasarkan bentuk dasarnya, yaitu
khabar, analistik atau historiografi yang mempergunakan kronologis (hawliyyat),
dan Maudhu’iyyat, yaitu historiografi yang bersifat tematis. Kemudian dari
bentuk yang ke-tiga (maudhu’iyyat) inilah berkembang, ada yang dinamakan
historiografi dinasti, thabaqat, dan nasab (susunan geneologis).
Dan bila menilik langgam bahasa yang digunakan, setidaknya ada lima jenis
langgam, yaitu; 1) langgam bahasa bebas, sederhana, jelas, dan hampir tidak ada
lagi syair di dalamnya, 2) menggunakan sajak, 3) menggabungkan antara prosa dan
kalimat-kalimat bersajak, 4) menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sederhana,
dan berusaha menghindari bahasa yang dibuat-buat agar enak didengar dan
lafal-lafal yang berbelit-belit, dan 5)
yang memasukan bahasa-bahasa asing dan logat-logat daerah.
Referensi
Hassan, Hassan
Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang, 1989.
Hitti, K. Philip. Sejarah
Ringkas Dunia Arab. Yogyakarta : Pustaka Iqra, 2001.
Kartodirdjo, A. Sartono. Lembaran
Sejarah. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1970.
Su’ud, Abu. Islamiologi,
Sejarah, Ajaran, dan perannya dalam peradaban umat manusia. Jakarta: Rineka
Cipta, 2003.
Umar, A. Muin. Pengantar
Historiografi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
----------. Historiografi Islam,
Jakarta: Rajawali, 1988.
Yatim, Badri. Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
----------. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1999.
Pedersen, J. Fajar
Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia
Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman,
Bandung: Mizan, 1996.
[1]Su’ud, Abu, Islamiologi,
Sejarah, Ajaran, dan perannya dalam peradaban umat manusia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2003), h. 7.
[2]Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 45.
[3]Ibid.
[4]Badri Yatim, Historiografi…., h. 46.
Al-Ayyam adalah cerita-cerita yang menggambarkan tentang peristiwa
peperangan antar kabilah yang disajikan dalam bentuk puisi dan prosa. Al-Ansab
adalah berita tentang silsilah atau
garis keturunan, keduanya merupakan tradisi Arab pra Islam. Lihat Mu’in Umar, Pengantar
Historiografi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 10
[5]Badri Yatim,Historiografi Islam, h. 45.
[8]Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam,
h. 8-10.
[9]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 49
[12]Muin Umar, Historiografi Islam, h. 29.
[14]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 56.
[15]Husein Nashshar berpendapat bahwa pada karya Ibn
Ishaq mencerminkan peleburan ketiga aliran historiografi awal kebangkitan Islam
(Aliran Yaman, Madinah, dan Baghdad).
[16]Badri Yatim, Historiografi…, h. 69.
[18]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 70.
[26]Muin Umar, Historiografi Islam, h. 29,
lihat juga Pengantar…., h. 7, dan Badri Yatim Historiografi Islam,
h. 100.
[27]Badri Yatim, Historiografi Islam, h.
92-100.
[28]Badri Yatim, Historiografi Islam, h.
92-100.
[30]Khabar adalah bentuk historiografi Islam yang paling tua, yang langsung
berhubungan dengan cerita-cerita perang dengan uraian yang baik dan sempurna
yang biasanya mengenai sesuatu kejadian yang kalau ditulis hanya beberapa
halaman saja. Di dalam kontek sejarah yang lebih luas perkataan khabar
sering dipergunakan sebagai laporan, kejadian, atau cerita. Karakteristik khabar
terletak pada penekanan pada garis sanad. Lihat Mu’in Umar, Historiografi
Islam, h. 29
[31]Badri Yatim, Historiografi Islam, h.
101.
[34]Menurut Mu’in Umar disebut analistik, yaitu
bentuk khusus penulisan sejarah dengan mempergunakan kronologis berdasarkan
tahun. Penyajian sejarah dalam bentuk ini berkembang pada masa Al-Thabari.
Lihat Mu’in Umar, Historiografi Islam,
h. 33.
[35]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 103.
[39]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 110.
[40] Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam,
h. 29-54.
[41]Salah satu bentuk atau corak historiografi yang
disusun secara analistik yang erat kaitannya dengan kekuasaan khalifah-khalifah
atau penguasa-penguasa lainnya. Seperti karya Ibn Ishaq Tarikh al-Khulafa’,
karya Al-Ya’qubi seperti Akhbar al-Thiwal, dan Al-Baladzuri Ansab al-Asyraf.
Lihat Mu’in Umar, Historiografi Islam, h. 44-48.
[42]Thabaqah berarti lapisan, yaitu transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas di
dalam penggantian kronologi generasi mudah untuk dilakukan. Ahli-ahli
leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti mengenai thabaqah.
Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun, ada juga yang
menyatakan lamanya 10 tahun. Seperti karya Al-Zhahabi yang berjudul Tarikh
al-Islam wa Thabaqat Masyahir al-‘Alam, Abu Ishaq Al-Syirazi Thabaqat
al-Fuqaha, dan lain-lain. Lihat Mu’in Umar, h. 49-50.
[43]Nasab adalah corak sejarah yang berhubungan dengan garis keturunan keluarga atau
kabilah tertentu. Seperti karya Al-Baldzuri Kitab al-Ansab meskipun
didominasi oleh biografi para khalifah. Lihat Mu’in Umar, h. 55-59.
[44]Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam,
h. 7.
[45]Pada masa Dinasti Abbasiyah jabatan wazir yang
berasal dari Persia mulai diperkenalkan, dan Khalid al-Barmaki memangku jabatan
ini untuk pertama kalinya. Selanjutnya jabatan ini dijabat oleh keturunannya,
sehingga roda pemerintahan praktis dibawah keluarga ini, karena mereka mendapat
kepercayaan dari khalifah sebagai wazir
dengan wewenang yang tidak terbatas. Pada masa Harun al-Rasyid jabatan ini
ditarik kembali, dengan alasan agar tidak terjadi dualisme kekuasaan dalam
pemerintahan. Lihat Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam., h.
125.
[46]Muin Umar, Pengantar…, h. 87-128.
[47]Badri Yatim, Historiografi Islam h. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar